Pages

Minggu, 08 Desember 2013

Kebijakan Kemendikbud 2014 Siswa SD Tak Ada Lagi yang Tinggal Kelas Membuat Guru Makin Bingung


SURABAYA, KOMPAS.com — Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang tak membolehkan siswa sekolah dasar tinggal kelas bertujuan baik agar siswa bisa berkembang sesuai dengan potensinya. Namun, kebijakan ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai perubahan metode belajar di kalangan guru.

Sejumlah guru juga masih kebingungan dengan kebijakan tersebut. ”Terus bagaimana jika siswa kelas I SD belum bisa membaca dan menulis, apakah harus naik kelas juga?” kata Sutini, Kepala SDN Suwanggaling IV Kota Surabaya, Senin (2/12/2013). Ia dimintai tanggapannya soal kebijakan baru Kemendikbud yang tidak membolehkan siswa SD tinggal kelas. Pemerintah juga menghapus kebijakan ujian nasional di sekolah dasar.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Ramon Mahondas mengatakan, penghapusan siswa tinggal kelas untuk memotivasi siswa meningkatkan potensinya. Karena itu, guru di 150.000 sekolah dasar akan segera diberikan pelatihan.

Murid yang belum memahami pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus mengulang pelajaran yang belum dikuasai. Bentuk penilaian rapor SD juga berubah, tidak lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskriptif untuk menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan. ”Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi narasi,” ujarnya.

Kebijakan ini sebenarnya sudah diterapkan di negara-negara maju. Meski demikian, kebijakan ini menuntut guru memahami secara mendalam karakter dan potensi siswa.

Sulitkan anak

Menurut Sutini, jika anak dipaksakan naik kelas, justru akan menyulitkan anak karena materi pelajarannya lebih sulit. ”Guru yang melakukan evaluasi tentu lebih tahu kondisi setiap anak,” kata Sutini.

Hal yang sama dikatakan Wakil Kepala SD Katolik Santa Maria Kota Surabaya Christina Purtiwi. Menurut dia, naik tidaknya murid adalah otonomi sekolah yang disepakati dalam rapat dewan guru. ”Kami tidak akan paksakan anak naik kelas kalau kemampuannya belum memadai. Kepada orangtuanya pun kami jelaskan,” kata Christina.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SDK Santo Carolus, Surabaya, Florentinus Lusiyanto menyatakan kurang setuju jika sistem tinggal kelas ditiadakan.

”Jadi, apa gunanya mengukur keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua?” kata Florentinus.

Sulit terukur

Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Dimyati juga masih belum memahami kebijakan pemerintah yang tidak membolehkan siswa SD tinggal kelas. ”Prestasi siswa akan sulit terukur,” ujarnya.

Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Wijanarto justru memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, sistem itu mendorong guru untuk lebih intensif memperhatikan siswa. Meski demikian, komposisi guru dan siswa harus dipertimbangkan. Jika menerapkan sistem itu, idealnya guru mengawasi maksimal 20 anak, sedangkan saat ini banyak guru yang mengajar 40 siswa. (FRN/ESA/REK/WIE/LUK)
Sumber : KOMPAS CETAK
Editor : Caroline Damanik

0 komentar:

Posting Komentar